BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Praktek
penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia saat ini masih penuh dengan
ketidakpastian biaya, waktu dan cara pelayanan. Mengurus pelayanan publik
ibaratnya memasuki hutan belantara yang penuh dengan ketidakpastian. Waktu dan
biaya pelayanan tidak pernah jelas bagi para pengguna pelayanan. Hal ini
terjadi karena prosedur pelayanan tidak pernah mengatur kewajiban dari
penyelenggara pelayanan dan hak dari warga sebagai pengguna. Prosedur cenderung
hanya mengatur kewajiban warga ketika berhadapan dengan unit pelayanan.
Ketidakpastian yang sangat tinggi ini mendorong warga untuk membayar pungli
kepada petugas agar kepastian pelayanan bisa segera diperoleh. Ketidakpastian
bisa juga mendorong warga memilih menggunakan biro jasa untuk menye lesaikan
pelayanannya daripada menyelesaikannya sendiri. Disamping itu juga sering
dilihat dan didengar adanya tindakan dan perilaku oknum pemberi pelayanan yang
tidak sopan, tidak ramah, dan diskriminatif. Sebagai konsekuensi logisnya,
dewasa ini kinerja pemerintah sebagai pelayan publik banyak menjadi sorotan,
terutama sejak timbulnya iklim yang lebih demokratis dalam pemerintahan. Rakyat
mulai mempertanyakan akan nilai yang mereka peroleh atas pelayanan yang dilakukan
oleh instansi pemerintah.
Semua
permasalahan tersebut, pada hakekatya tidak perlu terjadi secara drastis dan
dramatis. Sebagaimana yang pernah dialami selama ini, seandainya pemerintah dan
aparatur pemerintahannya memiliki kredibilitas yang memadai dan kewibawaan yang
dihormati oleh rakyatnya. Pemerintah yang memiliki etika dan moralitas yang
tinggi dalam menjalankan kewenangan pemerintahannya, tentu memiliki
akuntabilitas dan penghormatan yang tinggi pula terhadap tuntutan aspirasi dan
kepentingan masyarakat yang dilayaninya. Dalam pemerintahan yang demikian itu
pula iklim keterbukaan, partisipasi aktif dan pemberdayaan masyarakat dapat
diwujudkan, sebagai manifestasi dari gagasan yang dewasa ini mulai
dikembangkan, yaitu penerapan etika dalam pelayanan publik Melihat betapa
kompleksnya masalah yang terjadi dalam praktek penyelenggaraan pelayanan
publik, maka upaya penerapan etika pelayanan publik di Indonesia msenuntut
pemahaman dan sosialisasi yang menyeluruh, dan menyentuh semua dimensi
persoalan yang dihadapi oleh birokrasi pelayanan. Permasalahannya sekarang
adalah sejauhmana pemahaman dan penerapan etika pelayanan publik oleh birokrasi
pemerintah Indonesia? Masalah ini perlu pengkajian secara kritis dan mendalam,
karena berbagai praktek buruk dalam penyelenggaraan pelayanan publik seperti:
ketidakpastian pelayanan, pungutan liar, dan pengabaian hak dan martabat warga
pengguna pelayanan, masih amat mudah dijumpai dihampir setiap satuan pelayanan
publik.
Faktor
utama dalam keterpurukan pelayanan publik di Indonesia adalah lemahnya etika
sumber daya manusia (SDM), yaitu birokrat yang bertugas memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Etika pelayanan publik harus berorientasi kepada kepentingan
masyarakat berdasar asas transparansi dan akuntabilitas demi kepentingan
masyarakat. Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia,
pelanggaran moral dan etika dapat kita amati mulai dari proses kebijakanpublik
yaitu pengusulan program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkanatas
kenyataan desain organisasi pelayanan publik mengenai pengaturan struktur,
formalisasi, dispersi otoritas terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen
pelayanan publik yang penuh rekayasa dan kamuflase mulai dari perencanaan
teknis, pengelolaan keuangan, sumber daya manusia,informasi yang semuanya itu
nampak dari sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel,
tidak adil sehingga tidak dapat memberikan kualitas pelayanan yang unggul
kapada masyarakat. Sudah sepantasnnya pelayanan umum dilakukan secara beretika
agartidak adanya kekecewaan dalam suatu masyarakat.
B.
RUMUASAN
MASALAH
a. Bagaimana
etika aparatur sebagai penyelenggara pelayanan public.
b. Bagaimana
permaslahan etika aparatur dalam pelayanan public di Indonesia.
c. Bagaimana
solusi dari permasalahan etika aparatur pelayanan publik di Indonesia.
C.
MANFAAT
PENELITIAN
a. Mengetahui
etika aparatur sebagai penyelenggara pelayanan public.
b. Mengetahui
permasalahan etika aparatur pelayanan publik di Indonesia.
c. Mengetahui
solusi dari permasalahan etika aparatur pelayanan publik di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Etika Aparatur Sebagai
Penyelenggara Pelayanan Publik
Etika, termasuk etika birokrasi
mempunyai dua fungsi, yaitu: pertama,
sebagai pedoman, acuan, refrensi bagi administrasi negara (birokrasi publik)
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi
tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela. Kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian mengenai sifat,
perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan
terpuji. Leys berpendapat bahwa: “Seseorang administrator dianggap etis apabila
ia menguji dan mempertanyakan standar-standar yang digunakan dalam pembuatan
keputusan, dan tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang
sudah ada”. Selanjutnya, Anderson menambahkan suatu poin baru bahwa:
“standar-standar yang digunakan sebagai dasar keputusan tersebut sedapat
mungkin merefleksikan nilai-nilai dasar dari masyarakat yang dilayani”.
Berikutnya, Golembiewski mengingatkan dan menambah elemen baru yakni: “standar
etika tersebut mungkin berubah dari waktu-kewaktu dan karena itu administrator
harus mampu memahami perkembangan standar-standar perilaku tersebut dan
bertindak sesuai dengan standar tersebut”.
Setiap birokrasi pelayan publik
wajib memiliki sikap mental dan perilaku yang mencerminkan keunggulan watak,
keluharan budi, dan asas etis. Ia wajib mengembangkan diri sehingga
sungguh-sungguh memahami, menghayati, dan menerapkan berbagai asas etis yang
bersumber pada kebajikan-kebajikan moral khususnya keadilan dalam tindakan
jabatannya. Secara umum nilai-nilai moral terlihat dari enam nilai besar atau
yang dikenal dengan “six great ideas”5 yaitu nilai kebenaran (truth), kebaikan
(goodness), keindahan (beauty), kebebasan (liberty), kesamaan (equality), dan
keadilan (justice). Dalam kehidupan berma- syarakat, seseorang sering dinilai
dari tutur katanya, sikap dan perilakunya sejalan dengan nilai-nilai tersebut
atau tidak. Begitu pula dalam pemberian pelayanan publik, tutur kata, sikap dan
perilaku para pemberi pelayanan seringkali dijadikan obyek penilaian dimana
nilai-nilai besar tersebut dijadikan ukurannya. Disamping nilai-nilai dasar
tersebut, mungkin ada juga nilai-nilai lain yang dianggap penting untuk
mensukseskan pem- berian pelayanan, yang dari waktu ke waktu terus dinilai,
dikembangkan dan dipromosikan.
Dalam dunia pelayanan publik,
etika diartikan sebagai filsafat moral atau nilai, dan disebut dengan “profesional standars” (kode etik)
atau “right rules of conduct”
(aturan perilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan
publik.6 Sebuah kode etik meru-muskan berbagai tindakan apa, kelakuan mana, dan
sikap bagaimana yang wajib dijalankan atau dihindari oleh para pemberi
pelayanan. Aplikasi etika dan moral dalam praktek dapat dilihat dari kode etik
yang dimiliki oleh birokrasi publik. Kode etik di Indonesia masih terbatas pada
beberapa kalangan seperti ahli hukum dan kedokteran. Kode etik tidak hanya
sekedar bacaan, tetapi juga diimplementasikan dalam melakukan pekerjaan,
dinilai tingkat implementasinya melalui mekanisme monitoring, kemudian
dievaluasi dan diupayakan perbaikan melalui konsensus. Komitmen terhadap
perbaikan etika ini perlu ditunjukkan, agar masyarakat semakin yakin bahwa
birokrasi publik sungguh-sungguh akuntabel dalam melaksanakan kegiatan
pelayanan publik. Untuk itu, kita barangkali perlu belajar dari negara lain
yang sudah maju dan memiliki kedewasaan beretika.
Untuk menghindari perilaku
koruptif, masyarakat menuntut para aparatur pemerintah itu mempunyai dan
mengembangkan akuntabilitas moral pada diri mereka. Namun sayangnya, kata
Wahyudi10 tanggung jawab moral dan tanggung jawab profesional menjadi satu
titik lemah yang krusial dalam birokrasi pelayanan di Indonesia.Berkaitan
dengan itu Harbani mengatakan bahwa untuk menilai baik buruknya suatu pelayanan
publik yang diberikan oleh birokrasi publik dapat dilihat dari baik buruknya
penerapan nilai-nilai sebagai berikut: Pertama,
efesiensi, yaitu para birokrat tidak boros dalam melaksanakan tugas-tugas
pelayanan kepada masyarakat. Dalam artian bahwa para birokrat secara
berhati-hati agar memberikan hasil yang sebesarbesarnya kepada publik. Dengan
demikian nilai efesiensi lebih mengarah pada penggunaan sumber daya yang
dimiliki secara cepat dan tepat, tidak boros dan dapat dipertanggungjawabkan
kepada publik. Jadi dapat dikatakan baik (etis) jika birokrasi publik
menjalankan tugas dan kewenangannya secara efesien. Kedua, efektivitas, yaitu pada birokrat dalam melaksanakan
tugas- tugas pelayanan kepada publik harus baik (etis) apabila memenuhi target
atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya tercapai. Tujuan yang dimaksud
adalah tujuan publik dalam mencapai tujuannya, bukan tujuan pemberi pelayanan
(birokrasi publik). Ketiga,
kualitas layanan, yaitu kualitas pelayanan yang diberikan oleh pada birokrat
kepada publik harus memberikan kepuasan kepada yang dilayani. Dalam artian
bahwa baik (etis) tidaknya pelayanan yang diberikan birokrat kepada publik
ditentukan oleh kualitas pelayanan. Keempat,
responsivitas, yaitu berkaitan dengan tanggung jawab birokrat dalam merespon
kebutuhan publik yang sangat mendesak. Birokrat dalam menjalankan tugasnya
dinilai baik (etis) jika responsibel dan memiliki profesional atau kompetensi
yang sangat tinggi. Kelima,
akuntabilitas, yaitu berkaitan dengan pertanggungjawaban dalam melak- sanakan
tugas dan kewenangan pelayanan publik. Birokrat yang baik (etis) adalah
birokrat yang akuntabel dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.
B.
Masalah
etika aparatur pelayanan publik .
Masalah
utama pelayanan publik sebenarnya adalah peningkatan kualitas pelayanan publik
itu sendiri. Pelayanan publik yang berkualitas dipengaruhi oleh berbagai aspek,
yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya,sumber daya manusia yang mendukung,dan
kelembagaan. Beberapa kelemahan pelayanan publik berkaitan dengan pola
penyelenggaraannya antara lain sebagai berikut:
a. Sukar
Diakses. Unit pelaksana pelayanan publik terletak sangat jauh dari jangkauan
masyarakat, sehingga mempersulit mereka yang memerlukan pelayanan publik
tersebut.
b. Belum
informatif.Informasi yang disampaikan kepada masyarakat cenderung lambat atau
bahkan tidak diterima oleh masyarakat.
c. Belum
bersedia mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat.Biasanya aparat pelayanan
publik belum bersedia mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari masyarakat.
Sehingga, pelayanan publik dilaksanakan semau sendiri dan sekedarnya, tanpa ada
perbaikan dari waktu ke waktu.
d. Belum
responsif.Hal ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan publik,
mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan
penanggungjawab instansi. Tanggapan terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun
harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan tidak dihiraukan sama sekali.
e. Belum
saling berkoordinasi. Setiap unit pelayanan yang berhubungan satu dengan
lainnya belum saling berkoordinasi. Dampaknya, sering terjadi tumpang tindih
ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi
pelayanan lain yang terkait.
f. Tidak
Efisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan
perijinan) seringkali tidak ada hubungannya dengan pelayanan yang diberikan.
g. Birokrasi
yang bertele-tele. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya
dilakukan melalui proses yang terdiri dari berbagai tingkatan, sehingga
menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama.
Dalam kaitan
dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line
staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan di lain pihak
kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam
rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga
sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama
untuk diselesaikan. Berkaitan dengan sumber daya manusia, kelemahan utamanya
adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empati dan etika. Berbagai
pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan
adalah masalah sistem kompensasi yang tepat. Berkaitan dengan kelembagaan,
kelemahan utama terletak pada desain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam
rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat
pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi.
Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan
fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang
juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.
Banyaknya
korupsi dalam pelayanan publik seperti adanya pungutan liar, gratifikasi dan
lain sebagainya, sering kali terjadi karena pengaruh budaya organisasi negatif
yang sudah terbentuk secara masif, sistem matis dan terstruktur sehingga mau
tidak mau aparatur larut dalam penyimpangan tersebut, sungguh ironis ketika ada
aparatur yang tidak mau mengikuti penyimpangan tersebut justru dianggap beda
dan dapat dipastikan akan dikucilkan dalam lingkungan pergaulan birokrasi
tersebut, oleh karena itu diperlukan penegakan aturan hukum serta pembentukan
karakter aparatur yang memiliki integritas tinggi ditunjukkan dengan sikap
berani menolak korupsi terlebih lagi berani melaporkan korupsi yang
dijumpainya. Peran pelapor atau penyingkap korupsi sangat membantu dalam
menyingkap informasi kepada publik tentang adanya penyimpangan, pelanggaran
hukum dan etika, korupsi atau situasi berbahaya lainnya. Dia menjadi mata pisau
yang tepat untuk dapat meminimalisasi tindakan korupsi, dapat memberikan
tekanan-tekanan terhadap lembaga hukum yang sangat rentan dengan permasalahan
korupsi, namun sulit terjamah oleh hukum, dikarenakan pemahaman esprit de corps15 yang telah terbangun
secara turun-temurun. Realitanya seringkali Esprit de corps dimaknai sebagai semangat untuk menyelamatkan
dan menutupi keburukan institusi dengan cara apapun, tentunya menjadi sulit
bagi hukum untuk mencoba masuk kedalam wilayah-wilayah kekuasaan yang tercipta
dilingkungan institusi tersebut. Di level inilah peran dari penyingkap korupsi
menjadi penting.
Keboborakan
sebuah institusi dapat terdeteksi oleh mereka yang terdekat dengan lingkungan
tersebut. Budaya birokrasi masih memposisikan para pegawai untuk tidak
melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh atasannya atau merahasiakan sesuatu
yang salah didalam institusi tersebut. Budaya pegawai yang ada sering khawatir
jika harus berhadapan dengan konsekuensi logis berupa “pembalasan” seperti:
kehilangan pekerjaan, kehilangan kesempatan promosi jabatan, atau
"dimusuhi" oleh rekan-rekan sekerjanya membuat mereka lebih memilih
untuk berdiam diri. Budaya birokrasi yang ada harus mengadopsi nilai-nilai
budaya yang melingkupinya.
C.
Solusi
Masalah Etika Aparatur Pelayanan Publik
Tuntutan
masyarakat saat ini terhadap pelayanan publik yang berkualitas akan semakin
menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh
kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan yang telah disebutkan di atas
sehingga mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya. Dari sisi mikro, hal-hal yang dapat diajukan
untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. Penetapan
Standar Pelayanan
Standar
pelayanan memiliki arti yang sangat penting dalam pelayanan publik. Standar
pelayanan merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan
pelayanan dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan
harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan
standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan,
identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi
pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya
pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar
pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan
yang mampu mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan
pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga
dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber
daya manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang
akan ditanganinya.
2. Pengembangan
Standard Operating Procedures (SOP)
Untuk
memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan
adanya Standard Operating Procedures. Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan
yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai
dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten. Disamping
itu SOP juga bermanfaat dalam hal:
a. Untuk
memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterupted. Jika terjadi hal-hal
tertentu, misalkan petugas yang diberi tugas menangani satu proses tertentu
berhalangan hadir, maka petugas lain dapat menggantikannya.Oleh karena itu
proses pelayanan dapat berjalan terus;
b. Untuk
memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai dengan peraturan
yang berlaku;
c. Memberikan
informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap kesalahan prosedur
jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan;
d. Memberikan
informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam
prosedur pelayanan;
e. Memberikan
informasi yang akurat dalam rangka pengendalian pelayanan;
f. Memberikan
informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang akan diserahkan kepada
petugas tertentu yang akan menangani satu proses pelayanan tertentu. Atau
dengan kata lain, bahwa semua petugas yang terlibat dalam proses pelayanan
memiliki uraian tugas dan tangungjawab yang jelas.
3. Pengembangan
Survei Kepuasan Pelanggan
Untuk
menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian
kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara
pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat
dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan
memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survei kepuasan
pelanggan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik;
4. Pengembangan
Sistem Pengelolaan Pengaduan
Pengaduan
masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara
pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didisain suatu
sistem pengelolaan pengaduan yang secara efektif dan efisien mampu mengolah
berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas
pelayanan. Sedangkan dari sisi makro, peningkatan kualitas pelayanan publik
dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan publik. Dalam
hal-hal tertentu, memang terdapat pelayanan publik yang pengelolaannya dapat
dilakukan secara private untuk menghasilkan kualitas yang baik. Beberapa model
yang sudah banyak diperkenalkan antara lain: contracting out, dalam hal ini
pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang,
pemerintah memegang peran sebagai pengatur; franchising, dalam hal ini
pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik
tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum.
BAB
III
PENUTUP
Birokrasi penyelenggara pelayanan
publik tidak mungkin bisa dilepaskan dari nilai etika. Karena etika berkaitan
dengan soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia, maka tugas- tugas
dari birokrasi pelayan publikpun tidak terlepas dari hal-hal yang baik dan
buruk. Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia, kita menginginkan
birokrasi publik yang terdiri dari manusia-manusia yang berkarakter, yang
dilandasi sifat-sifat kebajikan, yang akan menghasilkan kebajikan-kebajikan
yang mengun- tungkan masyarakat dan mencegah tujuan menghalalkan segala cara. Karakter
ini harus ditunjukkan, bukan hanya menghayati nilai-nilai kebenaran, kebaikan,
dan kebebasan yang mendasar, tetapi juga nilai kejuangan. Hal terakhir ini
penting karena birokrasi pelayan publik ini adalah pejuang dalam arti
menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan, rela
berkorban, dan bekerja keras tanpa pamrih. Dengan semangat kejuangan itu
seorang birokrat, akan sanggup bertahan dari godaan untuk tidak berbuat yang
bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keindahan, kebebasan,
persamaan, dan keadilan.
A.
Kesimpulan
Etika pelayanan kepada publik (masyarkat umum) memang sangat
diharapkan, karena etika tersebut kini mulai luntur oleh perbuatan para pelayan
masyarakat (aparatur pemerintah) yang kurang menjunjung kode etika pelayanan
kepada masyarakat. Terbukti dengan adanya perbuatan nakal para oknum aparatur
pemerintah yang melakukan beberapa kecurangan yang diantaranya melakukan
pemungutan kepada masyarakat yang menginginkan kelebihan pelayanan, seperti
mempercepat penyelesaian pembuatan KTP namun dengan cara membayar uang balas
jasa mereka. Perbuatan tersebut tidak seharusnya dilakukan karena bertentangan
dengan norma yang sudah ada.Walau mungkin etika pelayanan kepada publik belum
disebutkan secara jelas, namun etika pelayanan publik dapat dilakukan sesuai
dengan hati nurani. Karena dengan hati nurani kita dapat membedakan yang mana
yang baik dan yang mana yang buruk, dengan adanya pelayanan yang baik
diharapkan masyarakat dapat merasakan kenyamanan dalam pelayanan. Pelayanan
publik masih memiliki banyak kelemahan dilihat dari pola penyelenggaraan yang
masih sukar diakses, belum informatif, belum bersedia mendengar aspirasi
masyarakat, belum responsif, belum saling berkoordinasi, tidak efisien, maupun
birokrasi yang bertele-tele. Sumber
daya manusia penyelenggara pelayanan publik masih belum memiliki
profesionalisme, kompetensi, empati, dan etika yang memadai. Desain organisasi yang penuh dengan
hierarkis sehingga pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis) dan tidak
terkoordinasi.
B. Saran
Etika pelayanan publik sebaiknya disosialisasikan kepada
pihak-pihak yang melakukan pelayanan kepada masyarakat, karena sebagian besar
pelayan masyarakat belum mengetahui etika pelayanan kepada masyarakat. Sebagian
mungkin masih belum mengetahui bagaimana seharusnya tindakan untuk melayani
masyarakat sehinggga dia melakukan kesalahan dalam melakukan pelayanan atas
ketidaktahuannya. Sangat disayangkan jika kesalahan dalam pelayanan dilakukan
karena kebutaan akan bagaimanan seharusnya etika yang diterapkan kepada
masyarakat. Saran selanjutnya berikanlah penghargaan jika aparatur melakukan
tindakan sesuai etika dan sebaliknya, berikanlah sanksi yang tegas kepada
pelanggar etika pelayanan apalagi yang melakukan dengan sengaja. Diharapkan
dengan adanya tindakan seperti itu para pelayan masyarakat termotivasi untuk
mengetahui etika pelayanan kepada masyarakat sehingga tindakannya dapat sesuai
dengan kehendak rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Bayu
Suryaningrat, Etika Administrasi Negara, Etika Pemerintahan, Etika Jabatan,
Bandung : Pustaka, 1984.
Edy Topo
Azhari. 2003. “ Upaya Meningkatkan Kinieja Pelayanan Publik”.Makalah. Disampaikan
dalam Seminar Lokakarya Nasional Dimensi Politik Pelayanan Publik: Partisipasi,
Transparansi & Akuntabilitas pada tanggal 8-9 Oktober 2003 di Hotel
Indonesia Jakarta.
Harbani
Pasolong. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta
Wahyudi ,
Kumorotomo. 1992. Etika administrasi Negara. Rajawali Pers, Jakarta.
Kusmanadji.2003.Etika
Bisnis dan Profesi.Jakarta:Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.
Sarimah,Ucok.2008.”Etika Profesi Pegawai Negeri
Sipil Departemen Keuangan Republik Indonesia”.Tangerang: Sekolah Tinggi
Akuntansi Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar