Jumat, 02 Oktober 2015

Etika Aparatur Dalam Memberikan Pelayanan Publik

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Praktek penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia saat ini masih penuh dengan ketidakpastian biaya, waktu dan cara pelayanan. Mengurus pelayanan publik ibaratnya memasuki hutan belantara yang penuh dengan ketidakpastian. Waktu dan biaya pelayanan tidak pernah jelas bagi para pengguna pelayanan. Hal ini terjadi karena prosedur pelayanan tidak pernah mengatur kewajiban dari penyelenggara pelayanan dan hak dari warga sebagai pengguna. Prosedur cenderung hanya mengatur kewajiban warga ketika berhadapan dengan unit pelayanan. Ketidakpastian yang sangat tinggi ini mendorong warga untuk membayar pungli kepada petugas agar kepastian pelayanan bisa segera diperoleh. Ketidakpastian bisa juga mendorong warga memilih menggunakan biro jasa untuk menye lesaikan pelayanannya daripada menyelesaikannya sendiri. Disamping itu juga sering dilihat dan didengar adanya tindakan dan perilaku oknum pemberi pelayanan yang tidak sopan, tidak ramah, dan diskriminatif. Sebagai konsekuensi logisnya, dewasa ini kinerja pemerintah sebagai pelayan publik banyak menjadi sorotan, terutama sejak timbulnya iklim yang lebih demokratis dalam pemerintahan. Rakyat mulai mempertanyakan akan nilai yang mereka peroleh atas pelayanan yang dilakukan oleh instansi pemerintah.
Semua permasalahan tersebut, pada hakekatya tidak perlu terjadi secara drastis dan dramatis. Sebagaimana yang pernah dialami selama ini, seandainya pemerintah dan aparatur pemerintahannya memiliki kredibilitas yang memadai dan kewibawaan yang dihormati oleh rakyatnya. Pemerintah yang memiliki etika dan moralitas yang tinggi dalam menjalankan kewenangan pemerintahannya, tentu memiliki akuntabilitas dan penghormatan yang tinggi pula terhadap tuntutan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang dilayaninya. Dalam pemerintahan yang demikian itu pula iklim keterbukaan, partisipasi aktif dan pemberdayaan masyarakat dapat diwujudkan, sebagai manifestasi dari gagasan yang dewasa ini mulai dikembangkan, yaitu penerapan etika dalam pelayanan publik Melihat betapa kompleksnya masalah yang terjadi dalam praktek penyelenggaraan pelayanan publik, maka upaya penerapan etika pelayanan publik di Indonesia msenuntut pemahaman dan sosialisasi yang menyeluruh, dan menyentuh semua dimensi persoalan yang dihadapi oleh birokrasi pelayanan. Permasalahannya sekarang adalah sejauhmana pemahaman dan penerapan etika pelayanan publik oleh birokrasi pemerintah Indonesia? Masalah ini perlu pengkajian secara kritis dan mendalam, karena berbagai praktek buruk dalam penyelenggaraan pelayanan publik seperti: ketidakpastian pelayanan, pungutan liar, dan pengabaian hak dan martabat warga pengguna pelayanan, masih amat mudah dijumpai dihampir setiap satuan pelayanan publik.
Faktor utama dalam keterpurukan pelayanan publik di Indonesia adalah lemahnya etika sumber daya manusia (SDM), yaitu birokrat yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Etika pelayanan publik harus berorientasi kepada kepentingan masyarakat berdasar asas transparansi dan akuntabilitas demi kepentingan masyarakat. Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran moral dan etika dapat kita amati mulai dari proses kebijakanpublik yaitu pengusulan program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkanatas kenyataan desain organisasi pelayanan publik mengenai pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang penuh rekayasa dan kamuflase mulai dari perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, sumber daya manusia,informasi yang semuanya itu nampak dari sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil sehingga tidak dapat memberikan kualitas pelayanan yang unggul kapada masyarakat. Sudah sepantasnnya pelayanan umum dilakukan secara beretika agartidak adanya kekecewaan dalam suatu masyarakat.

B.                 RUMUASAN MASALAH
a.       Bagaimana etika aparatur sebagai penyelenggara pelayanan public.
b.      Bagaimana permaslahan etika aparatur dalam pelayanan public di Indonesia.
c.       Bagaimana solusi dari permasalahan etika aparatur pelayanan publik di Indonesia.

C.                MANFAAT PENELITIAN
a.       Mengetahui etika aparatur sebagai penyelenggara pelayanan public.
b.      Mengetahui permasalahan etika aparatur pelayanan publik di Indonesia.
c.       Mengetahui solusi dari permasalahan etika aparatur pelayanan publik di Indonesia.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Etika Aparatur Sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik
Etika, termasuk etika birokrasi mempunyai dua fungsi, yaitu: pertama, sebagai pedoman, acuan, refrensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela. Kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian mengenai sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji. Leys berpendapat bahwa: “Seseorang administrator dianggap etis apabila ia menguji dan mempertanyakan standar-standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan, dan tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah ada”. Selanjutnya, Anderson menambahkan suatu poin baru bahwa: “standar-standar yang digunakan sebagai dasar keputusan tersebut sedapat mungkin merefleksikan nilai-nilai dasar dari masyarakat yang dilayani”. Berikutnya, Golembiewski mengingatkan dan menambah elemen baru yakni: “standar etika tersebut mungkin berubah dari waktu-kewaktu dan karena itu administrator harus mampu memahami perkembangan standar-standar perilaku tersebut dan bertindak sesuai dengan standar tersebut”.
Setiap birokrasi pelayan publik wajib memiliki sikap mental dan perilaku yang mencerminkan keunggulan watak, keluharan budi, dan asas etis. Ia wajib mengembangkan diri sehingga sungguh-sungguh memahami, menghayati, dan menerapkan berbagai asas etis yang bersumber pada kebajikan-kebajikan moral khususnya keadilan dalam tindakan jabatannya. Secara umum nilai-nilai moral terlihat dari enam nilai besar atau yang dikenal dengan “six great ideas”5 yaitu nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), keindahan (beauty), kebebasan (liberty), kesamaan (equality), dan keadilan (justice). Dalam kehidupan berma- syarakat, seseorang sering dinilai dari tutur katanya, sikap dan perilakunya sejalan dengan nilai-nilai tersebut atau tidak. Begitu pula dalam pemberian pelayanan publik, tutur kata, sikap dan perilaku para pemberi pelayanan seringkali dijadikan obyek penilaian dimana nilai-nilai besar tersebut dijadikan ukurannya. Disamping nilai-nilai dasar tersebut, mungkin ada juga nilai-nilai lain yang dianggap penting untuk mensukseskan pem- berian pelayanan, yang dari waktu ke waktu terus dinilai, dikembangkan dan dipromosikan.
Dalam dunia pelayanan publik, etika diartikan sebagai filsafat moral atau nilai, dan disebut dengan “profesional standars” (kode etik) atau “right rules of conduct” (aturan perilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik.6 Sebuah kode etik meru-muskan berbagai tindakan apa, kelakuan mana, dan sikap bagaimana yang wajib dijalankan atau dihindari oleh para pemberi pelayanan. Aplikasi etika dan moral dalam praktek dapat dilihat dari kode etik yang dimiliki oleh birokrasi publik. Kode etik di Indonesia masih terbatas pada beberapa kalangan seperti ahli hukum dan kedokteran. Kode etik tidak hanya sekedar bacaan, tetapi juga diimplementasikan dalam melakukan pekerjaan, dinilai tingkat implementasinya melalui mekanisme monitoring, kemudian dievaluasi dan diupayakan perbaikan melalui konsensus. Komitmen terhadap perbaikan etika ini perlu ditunjukkan, agar masyarakat semakin yakin bahwa birokrasi publik sungguh-sungguh akuntabel dalam melaksanakan kegiatan pelayanan publik. Untuk itu, kita barangkali perlu belajar dari negara lain yang sudah maju dan memiliki kedewasaan beretika.
Untuk menghindari perilaku koruptif, masyarakat menuntut para aparatur pemerintah itu mempunyai dan mengembangkan akuntabilitas moral pada diri mereka. Namun sayangnya, kata Wahyudi10 tanggung jawab moral dan tanggung jawab profesional menjadi satu titik lemah yang krusial dalam birokrasi pelayanan di Indonesia.Berkaitan dengan itu Harbani mengatakan bahwa untuk menilai baik buruknya suatu pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi publik dapat dilihat dari baik buruknya penerapan nilai-nilai sebagai berikut: Pertama, efesiensi, yaitu para birokrat tidak boros dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat. Dalam artian bahwa para birokrat secara berhati-hati agar memberikan hasil yang sebesarbesarnya kepada publik. Dengan demikian nilai efesiensi lebih mengarah pada penggunaan sumber daya yang dimiliki secara cepat dan tepat, tidak boros dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Jadi dapat dikatakan baik (etis) jika birokrasi publik menjalankan tugas dan kewenangannya secara efesien. Kedua, efektivitas, yaitu pada birokrat dalam melaksanakan tugas- tugas pelayanan kepada publik harus baik (etis) apabila memenuhi target atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya tercapai. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan publik dalam mencapai tujuannya, bukan tujuan pemberi pelayanan (birokrasi publik). Ketiga, kualitas layanan, yaitu kualitas pelayanan yang diberikan oleh pada birokrat kepada publik harus memberikan kepuasan kepada yang dilayani. Dalam artian bahwa baik (etis) tidaknya pelayanan yang diberikan birokrat kepada publik ditentukan oleh kualitas pelayanan. Keempat, responsivitas, yaitu berkaitan dengan tanggung jawab birokrat dalam merespon kebutuhan publik yang sangat mendesak. Birokrat dalam menjalankan tugasnya dinilai baik (etis) jika responsibel dan memiliki profesional atau kompetensi yang sangat tinggi. Kelima, akuntabilitas, yaitu berkaitan dengan pertanggungjawaban dalam melak- sanakan tugas dan kewenangan pelayanan publik. Birokrat yang baik (etis) adalah birokrat yang akuntabel dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.
B.     Masalah etika aparatur pelayanan publik .
Masalah utama pelayanan publik sebenarnya adalah peningkatan kualitas pelayanan publik itu sendiri. Pelayanan publik yang berkualitas dipengaruhi oleh berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya,sumber daya manusia yang mendukung,dan kelembagaan. Beberapa kelemahan pelayanan publik berkaitan dengan pola penyelenggaraannya antara lain sebagai berikut:
a.    Sukar Diakses. Unit pelaksana pelayanan publik terletak sangat jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga mempersulit mereka yang memerlukan pelayanan publik tersebut.
b.    Belum informatif.Informasi yang disampaikan kepada masyarakat cenderung lambat atau bahkan tidak diterima oleh masyarakat.
c.    Belum bersedia mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat.Biasanya aparat pelayanan publik belum bersedia mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari masyarakat. Sehingga, pelayanan publik dilaksanakan semau sendiri dan sekedarnya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.
d.    Belum responsif.Hal ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan publik, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Tanggapan terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan tidak dihiraukan sama sekali.
e.    Belum saling berkoordinasi. Setiap unit pelayanan yang berhubungan satu dengan lainnya belum saling berkoordinasi. Dampaknya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
f.     Tidak Efisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak ada hubungannya dengan pelayanan yang diberikan.
g.    Birokrasi yang bertele-tele. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan melalui proses yang terdiri dari berbagai tingkatan, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama.

Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan di lain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan. Berkaitan dengan sumber daya manusia, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empati dan etika. Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat. Berkaitan dengan kelembagaan, kelemahan utama terletak pada desain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.
Banyaknya korupsi dalam pelayanan publik seperti adanya pungutan liar, gratifikasi dan lain sebagainya, sering kali terjadi karena pengaruh budaya organisasi negatif yang sudah terbentuk secara masif, sistem matis dan terstruktur sehingga mau tidak mau aparatur larut dalam penyimpangan tersebut, sungguh ironis ketika ada aparatur yang tidak mau mengikuti penyimpangan tersebut justru dianggap beda dan dapat dipastikan akan dikucilkan dalam lingkungan pergaulan birokrasi tersebut, oleh karena itu diperlukan penegakan aturan hukum serta pembentukan karakter aparatur yang memiliki integritas tinggi ditunjukkan dengan sikap berani menolak korupsi terlebih lagi berani melaporkan korupsi yang dijumpainya. Peran pelapor atau penyingkap korupsi sangat membantu dalam menyingkap informasi kepada publik tentang adanya penyimpangan, pelanggaran hukum dan etika, korupsi atau situasi berbahaya lainnya. Dia menjadi mata pisau yang tepat untuk dapat meminimalisasi tindakan korupsi, dapat memberikan tekanan-tekanan terhadap lembaga hukum yang sangat rentan dengan permasalahan korupsi, namun sulit terjamah oleh hukum, dikarenakan pemahaman esprit de corps15 yang telah terbangun secara turun-temurun. Realitanya seringkali Esprit de corps dimaknai sebagai semangat untuk menyelamatkan dan menutupi keburukan institusi dengan cara apapun, tentunya menjadi sulit bagi hukum untuk mencoba masuk kedalam wilayah-wilayah kekuasaan yang tercipta dilingkungan institusi tersebut. Di level inilah peran dari penyingkap korupsi menjadi penting.
Keboborakan sebuah institusi dapat terdeteksi oleh mereka yang terdekat dengan lingkungan tersebut. Budaya birokrasi masih memposisikan para pegawai untuk tidak melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh atasannya atau merahasiakan sesuatu yang salah didalam institusi tersebut. Budaya pegawai yang ada sering khawatir jika harus berhadapan dengan konsekuensi logis berupa “pembalasan” seperti: kehilangan pekerjaan, kehilangan kesempatan promosi jabatan, atau "dimusuhi" oleh rekan-rekan sekerjanya membuat mereka lebih memilih untuk berdiam diri. Budaya birokrasi yang ada harus mengadopsi nilai-nilai budaya yang melingkupinya.

C.    Solusi Masalah Etika Aparatur Pelayanan Publik
Tuntutan masyarakat saat ini terhadap pelayanan publik yang berkualitas akan semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan yang telah disebutkan di atas sehingga mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dari sisi mikro, hal-hal yang dapat diajukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Penetapan Standar Pelayanan
Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting dalam pelayanan publik. Standar pelayanan merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang akan ditanganinya.
2.      Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP)
Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya Standard Operating Procedures. Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten. Disamping itu SOP juga bermanfaat dalam hal:
a.       Untuk memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterupted. Jika terjadi hal-hal tertentu, misalkan petugas yang diberi tugas menangani satu proses tertentu berhalangan hadir, maka petugas lain dapat menggantikannya.Oleh karena itu proses pelayanan dapat berjalan terus;
b.      Untuk memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku;
c.       Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap kesalahan prosedur jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan;
d.      Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam prosedur pelayanan;
e.       Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian pelayanan;
f.       Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang akan diserahkan kepada petugas tertentu yang akan menangani satu proses pelayanan tertentu. Atau dengan kata lain, bahwa semua petugas yang terlibat dalam proses pelayanan memiliki uraian tugas dan tangungjawab yang jelas.

3.      Pengembangan Survei Kepuasan Pelanggan
Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survei kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik;
4.      Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan
Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara efektif dan efisien mampu mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan. Sedangkan dari sisi makro, peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan publik. Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat pelayanan publik yang pengelolaannya dapat dilakukan secara private untuk menghasilkan kualitas yang baik. Beberapa model yang sudah banyak diperkenalkan antara lain: contracting out, dalam hal ini pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang, pemerintah memegang peran sebagai pengatur; franchising, dalam hal ini pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum.



BAB III
PENUTUP
Birokrasi penyelenggara pelayanan publik tidak mungkin bisa dilepaskan dari nilai etika. Karena etika berkaitan dengan soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia, maka tugas- tugas dari birokrasi pelayan publikpun tidak terlepas dari hal-hal yang baik dan buruk. Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia, kita menginginkan birokrasi publik yang terdiri dari manusia-manusia yang berkarakter, yang dilandasi sifat-sifat kebajikan, yang akan menghasilkan kebajikan-kebajikan yang mengun- tungkan masyarakat dan mencegah tujuan menghalalkan segala cara. Karakter ini harus ditunjukkan, bukan hanya menghayati nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan kebebasan yang mendasar, tetapi juga nilai kejuangan. Hal terakhir ini penting karena birokrasi pelayan publik ini adalah pejuang dalam arti menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan, rela berkorban, dan bekerja keras tanpa pamrih. Dengan semangat kejuangan itu seorang birokrat, akan sanggup bertahan dari godaan untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keindahan, kebebasan, persamaan, dan keadilan.
A.              Kesimpulan
Etika pelayanan kepada publik (masyarkat umum) memang sangat diharapkan, karena etika tersebut kini mulai luntur oleh perbuatan para pelayan masyarakat (aparatur pemerintah) yang kurang menjunjung kode etika pelayanan kepada masyarakat. Terbukti dengan adanya perbuatan nakal para oknum aparatur pemerintah yang melakukan beberapa kecurangan yang diantaranya melakukan pemungutan kepada masyarakat yang menginginkan kelebihan pelayanan, seperti mempercepat penyelesaian pembuatan KTP namun dengan cara membayar uang balas jasa mereka. Perbuatan tersebut tidak seharusnya dilakukan karena bertentangan dengan norma yang sudah ada.Walau mungkin etika pelayanan kepada publik belum disebutkan secara jelas, namun etika pelayanan publik dapat dilakukan sesuai dengan hati nurani. Karena dengan hati nurani kita dapat membedakan yang mana yang baik dan yang mana yang buruk, dengan adanya pelayanan yang baik diharapkan masyarakat dapat merasakan kenyamanan dalam pelayanan. Pelayanan publik masih memiliki banyak kelemahan dilihat dari pola penyelenggaraan yang masih sukar diakses, belum informatif, belum bersedia mendengar aspirasi masyarakat, belum responsif, belum saling berkoordinasi, tidak efisien, maupun birokrasi yang bertele-tele. Sumber daya manusia penyelenggara pelayanan publik masih belum memiliki profesionalisme, kompetensi, empati, dan etika yang memadai. Desain organisasi yang penuh dengan hierarkis sehingga pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis) dan tidak terkoordinasi.
B.        Saran
Etika pelayanan publik sebaiknya disosialisasikan kepada pihak-pihak yang melakukan pelayanan kepada masyarakat, karena sebagian besar pelayan masyarakat belum mengetahui etika pelayanan kepada masyarakat. Sebagian mungkin masih belum mengetahui bagaimana seharusnya tindakan untuk melayani masyarakat sehinggga dia melakukan kesalahan dalam melakukan pelayanan atas ketidaktahuannya. Sangat disayangkan jika kesalahan dalam pelayanan dilakukan karena kebutaan akan bagaimanan seharusnya etika yang diterapkan kepada masyarakat. Saran selanjutnya berikanlah penghargaan jika aparatur melakukan tindakan sesuai etika dan sebaliknya, berikanlah sanksi yang tegas kepada pelanggar etika pelayanan apalagi yang melakukan dengan sengaja. Diharapkan dengan adanya tindakan seperti itu para pelayan masyarakat termotivasi untuk mengetahui etika pelayanan kepada masyarakat sehingga tindakannya dapat sesuai dengan kehendak rakyat.




DAFTAR PUSTAKA
Bayu Suryaningrat, Etika Administrasi Negara, Etika Pemerintahan, Etika Jabatan, Bandung : Pustaka, 1984.
Edy Topo Azhari. 2003. “ Upaya Meningkatkan Kinieja Pelayanan Publik”.Makalah. Disampaikan dalam Seminar Lokakarya Nasional Dimensi Politik Pelayanan Publik: Partisipasi, Transparansi & Akuntabilitas pada tanggal 8-9 Oktober 2003 di Hotel Indonesia Jakarta.
Harbani Pasolong. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta
Wahyudi , Kumorotomo. 1992. Etika administrasi Negara. Rajawali Pers, Jakarta.
Kusmanadji.2003.Etika Bisnis dan Profesi.Jakarta:Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.
Sarimah,Ucok.2008.”Etika Profesi Pegawai Negeri Sipil Departemen Keuangan Republik Indonesia”.Tangerang: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar