Lahirnya
Eksistensialisme
Filsafat
selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis,
orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia
dapat tahan uji. Sifat materialisme ternyata merupakan pendorong lahirnya
eksistensialisme. Yang dimaksud dengan eksistensi ialah cara orang berada
didunia. Kata berada pada manusia tidak sama dengan beradanya pohon atau batu.
Untuk menjelaskan arti kata berada bagi manusia, aliran eksistensialisme mula-mula
menghantam materialisme. Eksistensialisme juga lahir sebagai reaksi terhadap
idealisme. Materialisme dan Idealisme adalah dua pandangan filsafat tentang
hakikat yang ekstrem. Kedua-duanya berisi benih-benih kebenaran, tetapi
kedua-duanya juga salah. Eksistensialisme ingin mencari jalan keluar dari kedua
ekstreminitas itu.
Materialisme memandang kejasmanian (materi) sebagai keseluruhan manusia, padahal itu hanya aspek manusia. Materialisme menganggap manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subjek. Manusia berpikir, berkesadaran, inilah yang tidak disadari oleh materialisme.
Materialisme memandang kejasmanian (materi) sebagai keseluruhan manusia, padahal itu hanya aspek manusia. Materialisme menganggap manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subjek. Manusia berpikir, berkesadaran, inilah yang tidak disadari oleh materialisme.
Eksistensialisme
dan Fenomenologi merupakan dua gerakan yang sangat erat dan menunjukkan
pemberontakan terhadap metoda - metoda dan pandangan - pandangan filsafat barat
yang tradisional. Tetapi gerakan - gerakan ini sangat berbeda dengan
pemberontakan yang dilakukan oleh filsafat analitik. Eksistensialisme dan
fenomenologi menyajikan sikap atau pandangan yang menekankan kepada eksistensi
manusia, artinya kualitas - kualitas yang membedakan antara individual (
perorangan ) dan tidak membicarakan manusia secara abstrak atau membicarakan
alam atau dunia secara umum. Keyakinan Bahwa Eksistensi Adalah Yang Terpenting,
Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedududkan pertama eksistensi,
pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung. Desakan yang pokok atau pendorong
adalah untuk hidup dan untuk diakui sebagai individual. Jika seorang manusia
diakui seperi itu, ia akan memperoleh arti dan makna salam kehidupan. Tempat
bertanya yang paling penting bagi seorang manusia adalah kesadarannya yang
langsung dan kesadaran tersebut tak dapat dimuat dalam sistem atau abstraksi.
Pemikiran yang abstrak condong untuk menjadi impersonal dan menjauhkan seorang
dari rasa manusia konkrit dan rasa berada dalam situasi manusia. Realitas atau
wujud ( being ) adalah eksistensi yang terdapat dalam ‘I’ dan bukan dalam
‘it’. Oleh sebab itu, pusat pemikiran dan arti adalah dalam eksistensi seorang
pemikir. Bagi filosof Denmark, Soren Kierkegaard umpamanya, manusia yang
menganggap bahwa pandangan hidupnya ditetapkan oleh akalnya adalah orang yang
meletihkan dan tidak berpandangan jauh, ia gagal untuk memahami fakta yang
elementer bahwa ia bukannya pemikir yang murni, akan tetapi ia adalah seorang
yang ada ( existing individual ).
Kelompok
eksistensialis membedakan antara eksistensi dana esensi. Eksistensi berarti
keadaan yang aktual, yang terjadi dalam ruang dan waktu, eksistensi menunjukkan
kepada suatu benda yang ada disini dan sekarang. Eksistensi berarti bahwa jiwa
atau manusia diakui adanya atau hidupnya. Tetapi bagi kelompok eksistensialis,
kata kerja ‘to exist’ mempunyai isi yang lebih positif dan lebih kaya daripada
kata kerja ‘to live’. Kadang - kadang orang mengatakan tentang orang yang hidup
kosong dan tanpa arti bahwa ‘ia tidak hidup, ia hanya ada’. Kelompok
eksistensialis mengubah kata tersebut dan mengatakan ‘orang itu tidak ada, ia
hanya hidup’. Bagi mereka eksistensi berarti kehidupan yang penuh, tangkas,
sadar, tanggung jawab, dan berkembang.
Istilah
esensi adalah sebaliknya dari eksistensi, yakni sesuatu yang membedakan antara
suatu benda dan corak - corak benda lainnya. Esensi adalah yang menjadikan
benda itu seperti apa adanya, atau suatu yang dimiliki secara umum oleh macam
-macam benda. Esensi adalah umum untuk beberapa individu dan kita dapat
bericara tentang esensi secara berarti walaupun tidak ada contoh benda itu pada
suatu waktu. Kita membedakan antara benda itu apa, dan itukah benda itu. Yang
pertama adalah esensinya pensil dan pensil ini, yang saya rasakan dengan indra
saya, ada.
Aliran
eksistensialisme kemudian terbagi menjadi dua cabang yaitu eksistensialisme
sosial dan eksistensialisme kritis. Eksistensialisme
Sosial berangkat dari pemikiran bahwa eksistensi ditemukan melalui kritis dalam
suatu kelompok masyarakat. Eksistensialisme yang kedua adalah eksistensialisme
kritis.
Eksistensialisme
Kritis terbagi lagi dalam tiga cabang eksistensialisme.
a. Teologi Dialektis
Kritis dipandang sebagai keberhasilan agama mencari melalui kebingungan akal.
b. Eksistensialisme Kantian
Dengan tokoh utamanya Karl Jaspers. Poros pemikirannya adalah adaptasi modern pada teori krisis Kierkegaard.
c. Eksistensialisme Fenomenologisa
a. Teologi Dialektis
Kritis dipandang sebagai keberhasilan agama mencari melalui kebingungan akal.
b. Eksistensialisme Kantian
Dengan tokoh utamanya Karl Jaspers. Poros pemikirannya adalah adaptasi modern pada teori krisis Kierkegaard.
c. Eksistensialisme Fenomenologisa
Tokoh utamanya Martin
Heidegger, Jean Paul Sartre dan Maurice Merleau Ponty. Persoalan eksistensi dan
hubungannya dengan esensi merupakan satu aspek dan satu aspek terluas tentang
yang ada.
Sifat-sifat umum bagi penganut yang dinamai orang eksistensialisme itu :
1. Orang menyuguhkan dirinya (eksistere) dalam kesungguhan yang tertentu.
2. Orang harus berhubungan dengan dunia.
3. Orang merupakan kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan badannya.
4. Orang berhubungan dengan ada.
Sifat-sifat umum bagi penganut yang dinamai orang eksistensialisme itu :
1. Orang menyuguhkan dirinya (eksistere) dalam kesungguhan yang tertentu.
2. Orang harus berhubungan dengan dunia.
3. Orang merupakan kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan badannya.
4. Orang berhubungan dengan ada.
FENOMENOLOGI
Pengertian fenomenologi
Fenomenologi
(Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos.
Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos
berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara
umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak.
Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas,
fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak.
Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada
kesadaran kita. Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode,
fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita
sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan
ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri
menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia)
serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk
mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman
serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut
Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada.
Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda
itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri
merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.
Prinsip
Fenomenologi.
a) Prisnsip Epoche dan Eidetic
Vision.
Keberhasilan penggunaan metode fenomenologis
adalah membebaskan diri dari praduga-praduga atau pengandaian-pengandaian.
Dalam mengeksplorasi kesadaran terdapat sebuah keharusan untuk menyingkirkan
segala macam dalil, seperti keyakinan-keyakinan, teori-teori dan corak pikir
yang telah menjadi kebiasaan. Husserl menyebut itu semua harus disimpan
dalam “tanda kurung”. Penyingkiran
semua macam penilaian itu disebut Husserl dengan epoche (istilah Yunani: tidak
memberikan suara).Setelah epoche ini dilakukan, barulah
eksplorasi fenomena yang dilakukan dengan sadar dapat dilakukan. Karena dengan
melakukan epoche penilaian terhadap fenomena tidak terdistorsi
oleh subjektifitas pengamat (penyelidik).
Di dalam kriteria tertentu epoche ini
mirip sekaligus berbeda dengan metode meragukan segala sesuatu ala Rene
Descartes, dengan keraguannya terhadap Descartes ia tidak sampai kepada
eksplorasi fenomenologis. Sedangkan Husserl dengan epoche-nya tidak
meragukan semua hal, melainkan hanya tidak memperhatikan semua itu hingga
tuntasnya sebuah penyelidikan terhadap suatu fenomena.
Dalam usaha untuk menyingkirkan segala
sesuatu untuk mencapai penyelidikan fenomena memiliki tiga macam reduksi.Reduksi ini merupakan usaha untuk mencapai bagian hakikat
segala sesuatu (fenomena) yang diselidiki. Husserl sendiri mengemukakan tiga
macam reduksi:.
1) Reduksi
Fenomenologis.
Di dalam reduksi ini manusia mesti
meninggalkan (menyaring) pengalaman-pengalamannya untuk mendapatkan
fenomena dalamwujud murni dan
utuh. Hal ini perlu dilakukan supaya fenomena yang diselidiki bisa masuk
kedalam kesadaran, tanpa terlebih dulu dihakimi oleh pengalaman. Apabila reduksi ini
berhasil maka manusia dapat menemukan fenomena atau gejala yang sebenarnya.
Manusia akan mengenal gejala tersebut dalam dirinya sendiri.
2) Reduksi
Eidetis.
Merupakan tindakan pengurungan
(penyaringan) segala hal yang bukan intisari atau hakekat fenomena. Jadi disini
bisa disebut sebagai penilikan hakekat. Di sinilah manusia bisa memengerti
sesuatu dalam konteks hakikatnya. Umpamanya kalau manusia menyelidiki fenomena
rumah, maka haru dilakukan penyaringan, mana yang merupakan inti sari rumah dan
mana yang bukan.
3) Reduksi
Transendental.
Reduksi ini melakukan penyaringan terhadap
eksistensi dan segala sesuatu yang tidak ada hubungan timbal balik dengan
kesadaran murni, agar dari obyek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada
pada subyek sendiri atau dengan kata lain metode fenomenologi diterapkan kepada
subjeknya sendiri dan kepada perbuatannya, kepada kesadaran yang murni.
Dunia yang tampak sebenarnya tidak
dapat memberikan sebuah kepastian kepada manusia, bahwa pengertian manusia
tentang realitas adalah benar. Dalam artian yang lebih ekstrim, dunia tidak
dapat memberikan kebenaran.
Supaya kebenaran itu didapatkan manusia
maka menurut Husserl mesti dicari dalam Erlebnisse, yaitu
pengalaman yang dengan sadar. Di dalam pengalaman yang memang sadar ini
kita mengalami diri kita sendiri atau “aku” kita senantiasa berhubungan dengan
dunia benda diluar kita. Di dalam menikmati kesadaran kita maka yang
tertinggal biasanya adalah “aku empiris”. “Aku empiris” ini maksudnya adalah aku yang berpengalaman, yang
terikat dengan benda. Contohnya adalah aku yang sedang duduk, sedang makan, sedang
bekerja dan sebagainya. Setelah aku empiris ini berlalu yang ada hanyalah
“aku yang murni”. Aku yang murni ini kemudian tidak dalam wilayah empiris lagi,
yang mengatasi segala pengalaman yang transedental. Karena aku yang murni
ini tidak terikat dengan dunia kebendaan. Inilah dasar yang pasti dan sudah
jelas kedudukannya sehingga tidak dapat dibantah lagi bagi segala pengertian.
b) Konsep
Dunia Kehidupan (Lebenswelt).
Memperbincangkan Fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai
konsep Lebenswelt (dunia kehidupan). Konsep ini penting
artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur
metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek
pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science
and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia
kehidupan” merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi)
ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir
positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnyamemandang semesta sebagai
sesuatu yang teratur mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya
adalah terjadinya “matematisasi
alam” dimana
alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka).Pendekatan ini
telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah
menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal.
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia
sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis
tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur
sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari
yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya
secara filosofis.
Ciri
fenomenologi ;
1. Cenderung mempertanyakannya dengan naturalisme atau objektivisme dan positivisme yang telah berkemabang sejak renaisans dalam pengetahuan modern dan teknologi.
2. Memastikan kognisi yang mengacu pada yang dinamakan ‘Evidenz’ = kesadaran akan suatu benda.
3. percaya bahwa tidak hanya satu benda yang ada dalam dunia alam dan budaya
1. Cenderung mempertanyakannya dengan naturalisme atau objektivisme dan positivisme yang telah berkemabang sejak renaisans dalam pengetahuan modern dan teknologi.
2. Memastikan kognisi yang mengacu pada yang dinamakan ‘Evidenz’ = kesadaran akan suatu benda.
3. percaya bahwa tidak hanya satu benda yang ada dalam dunia alam dan budaya
Prinsip
dasar fenomenologi
Stanley
Deetz menyimpulkan tiga prinsip dasar fenomenologis yaitu :
-
Pengetahuan di temukan secaralangsung
dalam pengalaman sadar. Kita akan mengetahui dunia ketika kita berhubungan
dengan pengalaman itu sendiri.
-
Makna benda terdiri dari kekuatan benda
dalam kehidupan seseorang. Bagaimana kita berhubungan dengan benda menentukan
maknanya bagi kita.
-
Bahasa merupakan kendaraan makna. Kita
mengalami dunia melalui bahasa yang di gunakan untuk mendefinisikan dan
mengekspresikan dunia itu.
Jenis-Jenis
Tradisi Fenomenologi yang pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich
Lambert (1728-1777) seorang filsuf jerman dalam bukunya “Neues Organon”(1764). Inti dari tradisi fenemonologi adalah
mengamati kehidupan dalam keseharian dalam suasana yang alamiah. Tradisi
memandang manusia secara aktif mengintrepretasikan pengalaman mereka sehingga
mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung
dengan lingkungannya. Titik berat tradisi fenomenologi adalah pada bagaimana
individu mempersepsi serta memberikan interpretasi pada pengalaman
subyektifnya. Adapun varian dari tradisi fenomenologi ini adalah:
1. Fenomenologi
klasik, percaya pada kebenaran hanya bisa di dapatkan melalui pengarahan
pengalaman, artinya hanya mempercayai suatu kebenaran dari sudut pandangnya
tersendiri atau obyektif.
2. Fenomenologi
persepsi, percaya pada suatu kebenaran bisa di dapatkan dari sudut pandang yang
berbeda-beda, tidak hanya membatasi fenomenologi pada obyektifitas, atau bisa
di katakan lebih subyektif.
3. Fenomenologi
Hermeneutik, percaya pada suatu kebenaran yang di tinjau baik dari aspek
obyektifitas maupun subyektifitasnya, dan juga di sertai dengan analisis guna
menarik suatu kesimpulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar