Minggu, 04 Oktober 2015

EKSISTENSIALISME DAN FENOMENOLOGI



Lahirnya Eksistensialisme
Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji. Sifat materialisme ternyata merupakan pendorong lahirnya eksistensialisme. Yang dimaksud dengan eksistensi ialah cara orang berada didunia. Kata berada pada manusia tidak sama dengan beradanya pohon atau batu. Untuk menjelaskan arti kata berada bagi manusia, aliran eksistensialisme mula-mula menghantam materialisme. Eksistensialisme juga lahir sebagai reaksi terhadap idealisme. Materialisme dan Idealisme adalah dua pandangan filsafat tentang hakikat yang ekstrem. Kedua-duanya berisi benih-benih kebenaran, tetapi kedua-duanya juga salah. Eksistensialisme ingin mencari jalan keluar dari kedua ekstreminitas itu.
Materialisme memandang kejasmanian (materi) sebagai keseluruhan manusia, padahal itu hanya aspek manusia. Materialisme menganggap manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subjek. Manusia berpikir, berkesadaran, inilah yang tidak disadari oleh materialisme.
Eksistensialisme dan Fenomenologi merupakan dua gerakan yang sangat erat dan menunjukkan pemberontakan terhadap metoda - metoda dan pandangan - pandangan filsafat barat yang tradisional. Tetapi gerakan - gerakan ini sangat berbeda dengan pemberontakan yang dilakukan oleh filsafat analitik. Eksistensialisme dan fenomenologi menyajikan sikap atau pandangan yang menekankan kepada eksistensi manusia, artinya kualitas - kualitas yang membedakan antara individual ( perorangan ) dan tidak membicarakan manusia secara abstrak atau membicarakan alam atau dunia secara umum. Keyakinan Bahwa Eksistensi Adalah Yang Terpenting, Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedududkan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung. Desakan yang pokok atau pendorong adalah untuk hidup dan untuk diakui sebagai individual. Jika seorang manusia diakui seperi itu, ia akan memperoleh arti dan makna salam kehidupan. Tempat bertanya yang paling penting bagi seorang manusia adalah kesadarannya yang langsung dan kesadaran tersebut tak dapat dimuat dalam sistem atau abstraksi. Pemikiran yang abstrak condong untuk menjadi impersonal dan menjauhkan seorang dari rasa manusia konkrit dan rasa berada dalam situasi manusia. Realitas atau wujud ( being ) adalah eksistensi yang terdapat dalam ‘I’  dan bukan dalam ‘it’. Oleh sebab itu, pusat pemikiran dan arti adalah dalam eksistensi seorang pemikir. Bagi filosof Denmark, Soren Kierkegaard umpamanya, manusia yang menganggap bahwa pandangan hidupnya ditetapkan oleh akalnya adalah orang yang meletihkan dan tidak berpandangan jauh, ia gagal untuk memahami fakta yang elementer bahwa ia bukannya pemikir yang murni, akan tetapi ia adalah seorang yang ada ( existing individual ).
Kelompok eksistensialis membedakan antara eksistensi dana esensi. Eksistensi berarti keadaan yang aktual, yang terjadi dalam ruang dan waktu, eksistensi menunjukkan kepada suatu benda yang ada disini dan sekarang. Eksistensi berarti bahwa jiwa atau manusia diakui adanya atau hidupnya. Tetapi bagi kelompok eksistensialis, kata kerja ‘to exist’ mempunyai isi yang lebih positif dan lebih kaya daripada kata kerja ‘to live’. Kadang - kadang orang mengatakan tentang orang yang hidup kosong dan tanpa arti bahwa ‘ia tidak hidup, ia hanya ada’. Kelompok eksistensialis mengubah kata tersebut dan mengatakan ‘orang itu tidak ada, ia hanya hidup’. Bagi mereka eksistensi berarti kehidupan yang penuh, tangkas, sadar, tanggung jawab, dan berkembang.
Istilah esensi adalah sebaliknya dari eksistensi, yakni sesuatu yang membedakan antara suatu benda dan corak - corak benda lainnya. Esensi adalah yang menjadikan benda itu seperti apa adanya, atau suatu yang dimiliki secara umum oleh macam -macam benda. Esensi adalah umum untuk beberapa individu dan kita dapat bericara tentang esensi secara berarti walaupun tidak ada contoh benda itu pada suatu waktu. Kita membedakan antara benda itu apa, dan itukah benda itu. Yang pertama adalah esensinya pensil dan pensil ini, yang saya rasakan dengan indra saya, ada.
Aliran eksistensialisme kemudian terbagi menjadi dua cabang yaitu eksistensialisme sosial dan eksistensialisme kritis. Eksistensialisme Sosial berangkat dari pemikiran bahwa eksistensi ditemukan melalui kritis dalam suatu kelompok masyarakat. Eksistensialisme yang kedua adalah eksistensialisme kritis.


Eksistensialisme Kritis terbagi lagi dalam tiga cabang eksistensialisme.
a.    Teologi Dialektis
Kritis dipandang sebagai keberhasilan agama mencari melalui kebingungan akal.
b.    Eksistensialisme Kantian
Dengan tokoh utamanya Karl Jaspers. Poros pemikirannya adalah adaptasi modern pada teori krisis Kierkegaard.
c.    Eksistensialisme Fenomenologisa
Tokoh utamanya Martin Heidegger, Jean Paul Sartre dan Maurice Merleau Ponty. Persoalan eksistensi dan hubungannya dengan esensi merupakan satu aspek dan satu aspek terluas tentang yang ada.
        Sifat-sifat umum bagi penganut yang dinamai orang eksistensialisme itu :
1.    Orang menyuguhkan dirinya (eksistere) dalam kesungguhan yang tertentu.
2.    Orang harus berhubungan dengan dunia.
3.    Orang merupakan kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan badannya.
4.    Orang berhubungan dengan ada.

FENOMENOLOGI
 Pengertian fenomenologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.

 Prinsip Fenomenologi.
a)      Prisnsip Epoche dan Eidetic Vision.
Keberhasilan penggunaan metode fenomenologis adalah membebaskan diri dari praduga-praduga atau pengandaian-pengandaian. Dalam mengeksplorasi kesadaran terdapat sebuah keharusan untuk menyingkirkan segala macam dalil, seperti keyakinan-keyakinan, teori-teori dan corak pikir yang telah menjadi kebiasaan. Husserl menyebut itu semua harus disimpan dalam tanda kurung. Penyingkiran semua macam penilaian itu disebut Husserl dengan epoche (istilah Yunani: tidak memberikan suara).Setelah epoche ini dilakukan, barulah eksplorasi fenomena yang dilakukan dengan sadar dapat dilakukan. Karena dengan melakukan epoche penilaian terhadap fenomena tidak terdistorsi oleh subjektifitas pengamat (penyelidik).
Di dalam kriteria tertentu epoche ini mirip sekaligus berbeda dengan metode meragukan segala sesuatu ala Rene Descartes, dengan keraguannya terhadap Descartes ia tidak sampai kepada eksplorasi fenomenologis. Sedangkan Husserl dengan epoche-nya tidak meragukan semua hal, melainkan hanya tidak memperhatikan  semua itu hingga tuntasnya sebuah penyelidikan terhadap suatu fenomena.
Dalam usaha untuk menyingkirkan segala sesuatu untuk mencapai penyelidikan fenomena memiliki tiga macam reduksi.Reduksi ini merupakan usaha untuk mencapai bagian hakikat segala sesuatu (fenomena) yang diselidiki. Husserl sendiri mengemukakan tiga macam reduksi:.
1)      Reduksi  Fenomenologis.
Di dalam reduksi ini manusia mesti meninggalkan (menyaring) pengalaman-pengalamannya untuk mendapatkan fenomena dalamwujud murni dan utuh. Hal ini perlu dilakukan supaya fenomena yang diselidiki bisa masuk kedalam kesadaran, tanpa terlebih dulu dihakimi oleh pengalaman. Apabila reduksi ini berhasil maka manusia dapat menemukan fenomena atau gejala yang sebenarnya. Manusia akan mengenal gejala tersebut dalam dirinya sendiri.
2)      Reduksi Eidetis.
Merupakan tindakan pengurungan (penyaringan) segala hal yang bukan intisari atau hakekat fenomena. Jadi disini bisa disebut sebagai penilikan hakekat. Di sinilah manusia bisa memengerti sesuatu dalam konteks hakikatnya. Umpamanya kalau manusia menyelidiki fenomena rumah, maka haru dilakukan penyaringan, mana yang merupakan inti sari rumah dan mana yang bukan.
3)      Reduksi Transendental.
Reduksi ini melakukan penyaringan terhadap eksistensi dan segala sesuatu yang tidak ada hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari obyek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subyek sendiri atau dengan kata lain metode fenomenologi diterapkan kepada subjeknya sendiri dan kepada perbuatannya, kepada kesadaran yang murni.
Dunia yang tampak sebenarnya tidak dapat memberikan sebuah kepastian kepada manusia, bahwa pengertian manusia tentang realitas adalah benar. Dalam artian yang lebih ekstrim, dunia tidak dapat memberikan kebenaran.
Supaya kebenaran itu didapatkan manusia maka menurut Husserl mesti dicari dalam Erlebnisse, yaitu pengalaman yang dengan sadar. Di dalam pengalaman yang memang sadar ini kita mengalami diri kita sendiri atau “aku” kita senantiasa berhubungan dengan dunia benda diluar kita. Di dalam menikmati kesadaran kita maka yang tertinggal biasanya adalah “aku empiris”. Aku empiris ini maksudnya adalah aku yang berpengalaman, yang terikat dengan benda. Contohnya adalah aku yang sedang duduk, sedang makan, sedang bekerja dan sebagainya. Setelah aku empiris ini berlalu yang ada hanyalah “aku yang murni”. Aku yang murni ini kemudian tidak dalam wilayah empiris lagi, yang mengatasi segala pengalaman yang transedental. Karena aku yang murni ini tidak terikat dengan dunia kebendaan. Inilah dasar yang pasti dan sudah jelas kedudukannya sehingga tidak dapat dibantah lagi bagi segala pengertian.
b)     Konsep Dunia Kehidupan (Lebenswelt).
Memperbincangkan Fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (dunia kehidupan). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnyamemandang semesta sebagai sesuatu yang teratur mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya matematisasi alam dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka).Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal.
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Ciri fenomenologi ;
1. Cenderung mempertanyakannya dengan naturalisme atau objektivisme dan positivisme yang  telah berkemabang sejak renaisans dalam pengetahuan modern dan teknologi.
2. Memastikan kognisi yang mengacu pada yang dinamakan ‘Evidenz’ = kesadaran akan suatu benda.
3. percaya bahwa tidak hanya satu benda yang ada dalam dunia alam dan budaya
  Prinsip dasar fenomenologi

Stanley Deetz menyimpulkan tiga prinsip dasar fenomenologis yaitu :
-          Pengetahuan di temukan secaralangsung dalam pengalaman sadar. Kita akan mengetahui dunia ketika kita berhubungan dengan pengalaman itu sendiri.
-          Makna benda terdiri dari kekuatan benda dalam kehidupan seseorang. Bagaimana kita berhubungan dengan benda menentukan maknanya bagi kita.
-          Bahasa merupakan kendaraan makna. Kita mengalami dunia melalui bahasa yang di gunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia itu.
Jenis-Jenis Tradisi Fenomenologi yang pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728-1777) seorang filsuf jerman dalam bukunya “Neues Organon”(1764). Inti dari tradisi fenemonologi adalah mengamati kehidupan dalam keseharian dalam suasana yang alamiah. Tradisi memandang manusia secara aktif mengintrepretasikan pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan lingkungannya. Titik berat tradisi fenomenologi adalah pada bagaimana individu mempersepsi serta memberikan interpretasi pada pengalaman subyektifnya. Adapun varian dari tradisi fenomenologi ini adalah:
1.      Fenomenologi klasik, percaya pada kebenaran hanya bisa di dapatkan melalui pengarahan pengalaman, artinya hanya mempercayai suatu kebenaran dari sudut pandangnya tersendiri atau obyektif.
2.      Fenomenologi persepsi, percaya pada suatu kebenaran bisa di dapatkan dari sudut pandang yang berbeda-beda, tidak hanya membatasi fenomenologi pada obyektifitas, atau bisa di katakan lebih subyektif.
3.      Fenomenologi Hermeneutik, percaya pada suatu kebenaran yang di tinjau baik dari aspek obyektifitas maupun subyektifitasnya, dan juga di sertai dengan analisis guna menarik suatu kesimpulan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar